I. Pendahuluan
Hutan merupakan kekayaan alam yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk sumber kehidupan. Sebagai manifestasi rasa syukur atas anugerah Tuhan YME ini, setiap manusia berkewajiban untuk memanfaatkan hutan secara optimal dan menjaga kelestariannya. Namun dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini sumberdaya alam khususnya hutan di Indonesia telah mengalami degradasi yang luar biasa karena berbagai sebab. antara lain akibat dari pengolahan hutan yang tidak tepat, pembukaan hutan dalam skala besar untuk pembangunan di luar kehutanan, perambahan, penjarahan dan kebakaran. Setiap tahunnya terjadi degradasi hutan sebesar 1,7 juta Ha, sehingga di Sumatera luas hutan tinggal 27% dan Kalimantan 34%.
Degradasi hutan (di ikuti penurunan kualitas lingkungan) tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan hutan yang buruk oleh pemerintah. Pemberian izin konsesi kepada BUMN dan swasta yang berujung pada penyalahgunaan izin HPH marak terjadi. Hal ini selanjutnya merembes pada munculnya perambahan, penjarahan dan pembakaran yang diantaranya dilakukan oleh oknum-oknum yang merasa rugi jika tidak ikut ambil bagian dalam pembukaan hutan. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).
Pada akhir tahun 2002 Menteri Kehutanan telah menetapkan dua program strategis Dephut yaitu GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan) dan Social Forestry. Sejak itu program Social Forestry bahkan ditetapkan sebagai payung untuk mengakomodasikan perkembangan sosial dan perubahan paradigma baru dibidang kehutanan (Rusli, 2003). Social Forestry dimaksudkan untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan. Pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat adalah kegiatan pengelolaan hutan secara utuh yang dilakukan masyarakat setempat, dalam rangka mewujudkan hutan yang lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat setempat ini kemudian disebut sebagai Social Forestry.
Social forestry merupakan embrio dalam perkembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang saat ini sedang digadang-gadang sebagai salah satu bentuk antusiasme pemerintah dalam upaya melakukan rehabilitasi hutan dan lahan. Demi mewujudkan pengelolaan hutan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sebagaimana dalam UU No. 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan pada Pasal 3 huruf d, bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
“meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga
mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal”
Niat baik tersebut kemudian dijabarkan menjadi konsep pemberdayaan masyarakat sebagaimana dinyatakan dalam PP No. 34 tahun 2002 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, pada Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi :
“ Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan atau sekitar hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan”
Kedua hal tersebut merupakan landasan digagasnya konsep Social forestry ini, yang mulai dicanangkan pada tanggal 2 Juli 2003 oleh Presiden sebagai Program Nasional. Kemudian ditindaklanjuti dengan Konsep Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Oleh Perum Perhutani. Adanya perkembangan dinamika kehidupan masyarakat didalam dan disekitar hutan menjadi dasar lahirnya kebijakan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat memayungi dan mendukung penguatan kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat seperti : Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Kemitraan.
II. Kebijakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
Perubahan paradigma dalam hal pengelolaan hutan yang semula top-down menjadi bottom-up dan juga perubahan pola pendekatan konservatif menjadi partisipatif telah menjadi bentuk baru kebijakan pemerintah dalam konteks pengelolaan hutan. Ini tidak terlepas dari peralihan orde baru ke orde reformasi, yang kemudian ikut mempengaruhi politik hukum pemerintah terkait pengelolaan hutan, sebagai imbas dari buruknya konsep pengelolaan hutan di zaman orde baru .
Konsep partisipasi masyarakat sendiri sudah dimulai dengan munculnya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat oleh Perum Perhutani. Namun hal tersebut terbatas pada daerah areal kerja Perhutani yang pada umunya di Pulau Jawa. Kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat tersebut tidak terlepas dari meningkatnya laju deforestasi di indonesia setiap tahun. Banyak faktor yang memicu terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, diantaranya adalah kondisi sosial/kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan yang relatif masih rendah, masih terbatasnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan, konflik tenurial yangsering berujung pada penyerobotan lahan, serta tidak seimbangnya supply dan demand kayu yang berpengaruh terhadap perkembangan industri perkayuan nasional.
Seiring perjalanan waktu, konsep Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat oleh Perhutani yang dijalankan oleh Perhutani sejak 2001 berdasarkan pada keputusan Dewan Pegawas No 136/Kpts/DIR/2001 mulai diadopsi kedalam beberapa bentuk, dengan munculnya istilah PSHBM, PDMH. Rekomendasi Lokakarya Nasional yang diselenggarakan oleh CIFOR (2002) mengungkapkan refleksi dari peserta lokakarya bahwa pengelolaan hutan yang berbasis kepada sektor perindustrian skala besar tidak berhasil baik. Prinsip dasar pengelolaan hutan sepanjang tiga dasa warsa berbasis pada negara (State Based Forest Management –SBFM) terbukti telah menimbulkan berbagai krisis di bidang kehutanan yang akhirnya justeru mengancam kelestarian sumberdaya hutan. Hal tersebut justru memarjinalkan masyarakat dan mendorong munculnya perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang lebih menitik beratkan pada paradigma pengelolaan hutan oleh masyarakat. Prinsip dasar tersebut seringkali disebut dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau biasa disebut sebagai Civil Based Forest Management (CBFM).
Salah satu tujuan CBFM adalah untuk mendorong tumbuhnya pembangunan hutan yang lestari serta terwujudnya kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan merupakan sasaran yang dicapai secara bersama-sama dengan Mengolah lahan beserta unsur lingkungan hayati dan nir-hayati lainnya bertujuan menjaga eksistensi dan meningkatkan taraf kehidupan pribadi, keluarga dan komunitasnya. Upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat seperti demikian disebut sebagai memberdayakan masyarakat.
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat tersebut bertahan (survive) dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai tujuan. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat untuk membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan (Kartasasmita G.,1995). Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah makin bertambah lemah oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi dalam hal ini dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Dengan dibukanya ruang bagi pemberdayaan masyarakat dalam mengelola kehutanan sebagaimana sinyalemen UU Kehutanan yang dijabarkan dalam PP No. 6 Tahun 2007 Pasal 83 ayat (1):
“Untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, dilakukan pemberdayaan masyarakat setempat, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya”
Pada PP tersebut juga diatur tentang bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat setempat tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 84:
Pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83 ayat (1) dapat dilakukan melalui :
a. hutan desa;
b. hutan kemasyarakatan; atau
c. kemitraan.
III. Skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
A. Hutan Desa
Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak. Dalam konteks Hak Menguasai Negara (HMN), negara berhak untuk menentukan peruntukan dan pemberian izin atas pengelolaan SDA termasuk juga hutan. Dalam konsep Social forestry yang mengusung pola pengelolaan hutan yang partisipatif, pemerintah berupaya untuk mengakomodasi keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan. Sehingga terdapat beberapa kebijakan pemerintah serta prosedur yang harus dilalui dalam penetapan areal kerja Hutan Desa.
Areal kerja Hutan Desa yang terletak di wilayah Desa merupakan Hutan negara yang berada diwilayah desa, disebut hutan negara karena desa didefinisakan sebagai kesatuan masyarakat hukum. Dalam konsep hak atas tanah, tidak terdapat suatu apapun hak-hak yang dimiliki oleh suatu kesatuan masyarakat hukum. Hal ini disebabkan, dalam hukum positif menurut azaz legalitas (kepastian hukum) perlu dilakukan suatu bentuk pengukuhan dan pembuktian sehingga suatu individu atau kelompok dapat dijadikan sebagai subjek hukum agar dapat melakukan perbuatan hukum.
Hutan Desa yang dimaksud dapat diberikan kepada hutan lindung dan hutan produksi. Pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan desa dilakukan dengan memberikan hak pengelolaan kepada lembaga desa, meliputi:
a) Kegiatan tata areal
b) Penyusunan rencana pengelolaan areal
c) Pemanfaatan hutan serta rehabilitasi
d) Perlindungan hutan desa.
Pemanfaatan hutan desa di Hutan Lindung dan Hutan Produksi antara lain:
a. Hutan Lindung ; meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu.
b. Hutan Produksi ; meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
1. Tata Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Dan Hak Pengelolaan Hutan Desa.
a) Tata Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Desa
a. Kepala Desa mengajukan usulan Hutan Desa kepada Bupati berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan menurut Pasal 4 ayat (2) tentang Hutan Desa atas rekomendasi KPH dan kepala dinas yang berkaitan dengan kehutanan.
b. Dengan adanya Permenhut nomor P.53/Menhut-II/ 2011 Tentang perubahan Kedua Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, yang juga dengan sendirinya menghapus berlakunya Pasal 6 Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2010 Tentang Perubahan Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, sehingga proses tata cara permohonan yang harus dilalui pada Pasal 6, menjadi:
1) UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial melakukan koordinasi dengan UPT Eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan Pemerintah Daerah untuk menentukan calon areal kerja hutan desa dan memfasilitasi pembentukan lembaga desa, untuk membuat permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota.
2) Pada areal lain di luar areal yang dicalonkan tersebut, masyarakat setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa kepada Bupati/Walikota.
3) Permohonan diajukan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota , dengan melampirkan :
a. Sketsa lokasi areal yang dimohon;
b. Surat usulan dari Kepala Desa/Lurah; dan
c. Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah terbentuk yang diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah.
4) Berdasarkan permohonan masyarakat setempat dan atau hasil penentuan calon areal kerja hutan desa, maka Bupati/Walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan desa kepada Menteri.
5) Usulan Bupati/Walikota dilengkapi dengan :
a. Peta digital lokasi calon areal kerja hutan kemasyarakatan dengan skala paling kecil 1:50.000;
b. Deskripsi wilayah, antara lain keadaan fisik wilayah, sosial ekonomi, dan potensi kawasan;
c. Surat usulan dari Kepala Desa/Lurah; dan
d. Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah terbentuk yang diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah.
6) Dalam proses pengusulan areal kerja hutan desa, Gubernur atau Bupati/Walikota memfasilitasi pembentukan dan penguatan lembaga desa setempat.
c. Dengan terdapatnya perubahan pada Pasal 7 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008 oleh P.14/Menhut-II/2010, maka landasan hukum dalam melaksanakan perintah pasal 7 tersebut tidak lagi mengacu pada Pasal 7 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2010, sebab ketentuan pasal 7 dihapus dengan sendirinya. Bupati berdasarkan hal tersebut mengajukan usulan Penetapan Areal Kerja Hutan Desa kepada Menteri, dengan proses:
1) Terhadap usulan Bupati/Walikota tersebut, dilakukan verifikasi oleh Tim Verifikasi yang dibentuk oleh Menteri.
2) Tim verifikasi beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait lingkup Kementerian Kehutanan dengan penanggung jawab Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
3) Verifikasi dilakukan dengan melakukan pencermatan terhadap hal-hal, antara lain kepastian bebas hak/ izin, serta kesesuaian dengan fungsi kawasan.
d. Setelah diverifikasi, Menhut menerima keseluruhan, menerima sebagian atau menolak usulan penetapan areal kerja hutan desa yang diusulkan oleh Bupati. Hal ini dapat dilihat dalam bunyi pasal 8 ayat (1) Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2010, selanjutnya diperjelas pada ayat (2) sampai ayat (4) dengan proses:
1) Terhadap usulan penetapan areal kerja hutan desa yang ditolak, Tim Verifikasi atas nama Menteri menyampaikan pemberitahuan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur setempat.
2) Terhadap usulan penetapan areal kerja hutan desa yang diterima, Menteri menetapkan areal kerja hutan desa.
3) Penetapan areal kerja hutan desa disampaikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota setempat.
e. Terhadap usulan penetapan areal kerja Hutan Desa yang diterima maka Kemenhut mengeluarkan SK Menhut tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa. Selanjutnya Bupati melakukan sosialisasi kepada desa-desa yang telah ditetapkan sebagai hutan desa sebagaimana ditegaskan pasal 12 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2010 yaitu:.
1) Terhadap areal kerja hutan desa yang telah ditetapkan oleh Menteri, Bupati/Walikota mensosialisasikan kepada Kepala Desa yang wilayah administrasinya ditetapkan sebagai areal kerja Hutan Desa.
2) Kepala Desa mensosialisasikan kepada masyarakat desa tentang penetapan areal kerja hutan desa.
3) Berdasarkan sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Desa membentuk Lembaga Desa yang mengelola hutan desa yang dituangkan dalam Peraturan Desa.
b) Tata Cara Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa
a. Pengaturan mengenai persyaratan yang harus dimuat dalam pengajuan permohonan hak pengelolaan hutan desa oleh lembaga sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, yaitu:
1) Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa diajukan oleh Lembaga Desa kepada Gubernur melalui Bupati/walikota dengan melampirkan persyaratan: peraturan desa tentang penetapan lembaga desa;
a. Surat pernyataan dari kepala desa yang menyatakan wilayah administrasi desa yang bersangkutan yang diketahui camat;
b. Luas areal kerja yang dimohon
c. Rencana kegiatan dan bidang usaha lembaga desa.
2) Bupati/Walikota meneruskan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa kepada Gubernur dengan melampirkan surat rekomendasi yang menerangkan bahwa Lembaga Desa telah:
a. Mendapatkan fasilitasi;
b. Siap mengelola hutan desa; dan
c. Ditetapkan areal kerja oleh Menteri.
Dalam hal telah mendapatkan fasilitasi. Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten wajib untuk memberikan fasilitasi terhadap lembaga desa dalam hal pengelolaan hutan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (3).
b. Pada Pasal 14 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, diatur mengenai proses verifikasi yang menurut ayat (5) Pasal 14 tersebut diatur dalam peraturan gubernur tentang pedoman verifikasi. Setelah mengajukan permohonan kepada Gubernur melalui Bupati, verifikasi yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam ayat (2) paling sedikit dilakukan terhadap: keabsahana lembaga desa, pernyataan kepala desa, kesesuaian areal kerja dan kesesuaian rencana. Hasil verifikasi yang tidak memenuhi syarat, gubernur akan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon.
c. Setelah hak pengelolaan Hutan Desa diberikan dalam bentuk Surat keputusan yang berupa Surat keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa , Gubernur dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada bupati/ Walikota.
2. Pengelolaan Hutan Desa
Setelah memperoleh Surat keputusan pemberian hak pengelolaan hutan desa, lembaga desa atau kelompok pengelolaan hutan desa sebagai pemegang hak pengelolaan hutan desa memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan. beberapa kewajiban tersebut dinyatakan dalam Pasal 34 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang kewajiban pemegang hak pengelolaan hutan desa, yaitu:
a. melaksanakan penataan batas hak pengelolaan hutan desa
b. menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa selama jangka waktu berlakunya hak pengelolaan hutan desa
c. melakukan perlindungan hutan
d. melaksanakan rehabilitasi areal kerja hutan desa
e. melaksanakan pengkayaan tanaman areal kerja hutan desa
izin Pengelolaan hutan desa yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan hutan desa ialah selama 35 tahun yang kemudian dituangkan dalam Rencana Kerja Hutan Desa dan izin pengelolaan hutan desa selama 35 tahun tersebut dapat dilakukan evaluasi setiap 5 tahun sekali.
Dalam melaksanakan pengelolaan Hutan Desa, lembaga desa sebagai pemegang hak pengelolaan hutan desa, sebagaimana yang ditegaskan pasal 34 tersebut bahwa lembaga desa memiliki kewajiban untuk menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa. Rencana kerja hak pengelolaan hutan desa dimaksudkan sebagai acuan bagi pemegang hak dalam pengelolaan hutan desa dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan serta menjadi alat pengendalian dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Rencana kerja hak pengelola hutan desa tersebut terdiri dari:
a) Rencana Kerja Hutan Desa
b) Rencana Kerja Tahunan Hutan Desa
a) Rencana Kerja Hutan Desa
Rencana Kerja Hutan Desa merupakan rencana pengelolaan hutan desa selama jangka waktu pemberian hak 35 tahun yang menjamin berlangsungnya kelestarian fungsi hutan secara ekonomi, ekologi, sosial dan budaya setempat. Rencana Kerja Hutan Desa atau disingkat RKHD disusun oleh lembaga desa secara musyawarah selanjutnya disahkan oleh Gubernur dan Gubernur dapat mendelegasikan kepada Kepala Dinas Provinsi yang mengurus persoalan dibidang kehutanan. Setelah RKHD disahkan oleh Gubernur selanjutnya lembaga desa menyampaikan RKHD tersebut kepada kepada menteri kehutanan. Ada beberapa aspek yang termasuk didalam RKHD, yaitu:
a. Kelola kawasan
b. Kelola kelembagaan
c. Kelola usaha
d. Kelola sumberdaya manusia.
b) Rencana Tahunan Hutan Desa
Rencana Tahunan Hutan Desa atau disingkat dengan RTHD merupakan penjabaran lebih rinci dari RKHD yang memuat kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dan target-target yang akan dicapai dalam jangka waktu 1 (satu) tahun ke depan. RTHD disahkan oleh Bupati/Walikota dan dapat didelegasikan kepada Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di Kabupaten/kota. Selanjutnya Lembaga Desa menyampaikan RTHD yang telah disahkan Gubernur kepada Menteri dengan tembusan kepada Bupati/Walikota.
3. Pemanfaatan Hutan Oleh Kelompok Pengelola Hutan Desa
1) Pemanfaatan Kawasan
a) Pemanfaatan kawasan di Hutan Lindung
Pemanfaatan kawasan di hutan lindung menurut Pasal 24 PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, yang juga dijabarkan dalam Pasal 24 Permenhut No. P.49/menhut-II/ 2008 Tentang Hutan Desa, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, kegiatan usaha yang dapat dilakukan pada hutan lindung ialah:
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa liar;
f. rehabilitasi satwa; atau budidaya hijauan makanan ternak.
Selanjutnya pada pasal 24 ayat (2) memuat ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam kegiatan usaha pemanfaatan kawasan di hutan lindung, yaitu:
a. tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;
b. pengolahan tanah terbatas;
c. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
d. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau
e. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.
Sebagaimana perintah Pasal 24 ayat (3) yang menyatakan bahwa kegiatana usaha pemanfaatan kawasan dihutan lindung selanjutnya diatur dalam peraturan menteri, namun dalam rentang waktu antara tahun 2007-2011 tidak diketemukan peraturan menteri kehutanan terkait dengan perintah pasal tersebut kecuali pada Permenhut tentang Hutan Desa yang menyatakan apa yang telah disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)
b) Pemanfaatan Kawasan di Hutan Produksi
Menurut Pasal 32 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 27 Permenhut No. P.49/menhut-II/ 2008 Tentang Hutan Desa, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, kegiatan usaha yang dapat dilakukan pada Hutan Produksi ialah:
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa; dan
f. budidaya sarang burung walet
sebagaimana pada ayat (2) ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam Pemanfaatan kawasan di hutan produksi, yaitu:
a. luas areal pengolahan dibatasi;
b. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
c. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan
d. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam
sama halnya dengan ketentuan mengenai pemanfaatan kawasan di hutan produksi, selama kurun waktu yang sebagaimana dinyatakan sebelumnya tidak diketemukan pengaturan lebih lanjut mengenai bagaimana tata cara permohonan serta hal-hal lain menyangkut pemanfaatan kawasan.
2) Pemanfaatan Jasa Lingkungan
a) Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Hutan Lindung
Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan dalam Pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung sebagaimana bunyi Pasal 25 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2007, hal tersebut juga diamini dalam Pasal yang sama pada Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008, yang terdiri dari:
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Pasal 25 ayat (2) mengatur beberapa ketentuan yang harus dipatuhi dalam hal pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung, yaitu:
a. mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya;
b. mengubah bentang alam; dan
c. merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan.
b) Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Hutan produksi
Menurut Pasal 33 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2007 kegiatan usaha yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan jasa lingkungan di Hutan Produksi adalah:
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Ketentuan dalam pemanfaatan Jasa lingkungan pada baik itu pada Hutan Produksi sebagaimana dinyatakan pada ayat (2) pada umumnya memiliki kesamaan dengan ketentuan dalam pemanfaatan kawasan di Hutan Produksi.
3) Usaha pemanfaatan Hasil hutan Kayu
Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi setelah mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Izin pemanfaatan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan atau biasa disingkat IUPHHK dapat diberikan pada hutan alam maupun hutan tanaman. Adapun beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh lembaga pengelola hutan desa untuk mengajukan permohonan IUPHHK, yaitu:
a. Foto copy peraturan desa tentang penetapan lembaga desa;
b. Fotocopy Surat Keputusan Penetapan Areal Kerja Hutan Desa yang terkait;
c. Fotocopy Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa;
d. Rencana Kerja Hutan Desa yang sudah disahkan; dan
e. Akta penetapan Lembaga Desa sebagai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Terhadap persyaratan pada huruf d mengenai pengajuan akta penetapan lembaga desa sebagai badan usaha milik desa, hal tersebut sudah merupakan syarat yang umum dalam permohonan IUPHHK, baik itu pada Hutan Alam maupun pada Hutan Tanaman, bahwa pengajuan permohonan IUPHHK hanya dapat dilakukan oleh: Perorangan, Koperasi, Badan Usaha Milik negara dan Badan Usaha Milik Swasta. Hal ini sesuai dengan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 20/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan produksi dan Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi.
Persyaratan yang diajukan dalam permohonan IUPHHK di Hutan desa, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan persyaratan yang diajukan dalam permohonan IUPHHK dalam hutan alam maupun hutan tanaman, namun sebagai tambahan, bahwa didalam persyaratan yang dimuat pada permohonan IUPHHK dalam hutan alam maupun hutan tanaman, dicantumkan kewajiban kepemilikan NPWP (nomor pokok wajib pajak).
Terkait dengan adanya rekomendasi gubernur dalam tata cara permohonan IUPHHK baik itu pada Hutan alam maupun hutan tanaman, hal tersebut merupakan bagian dari penerapan asas good governace, hal tersebut didasarkan pada hasil kajian analisis fungsi kawasan hutan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala BalaiPemantapan Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan. Analisis fungsi kawasan itu sendiri, menurut Pasal 3 Ayat (3) peraturan menteri kehutanan nomor 63/Menhut-II/2008 tentang tata cara pemberian rekomendasi Gubernur dalam rangka permohonan atau perpanjangan IUPHHK Hutan alam atau hutan tanaman, adalah: berisi fungsi kawasan hutan sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi dan data lain yang tersedia antara lain tata batas, uraian penutupan vegetasi, penggunaan, pemanfaatan,perubahan peruntukan dan fungsi kawasan yang dituangkan dalam data numerik dan spasial.
4) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, hanya dapat dilakukan pada hutan produksi, yaitu pada hutan alam dan hutan tanaman. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, adalah;
1. Kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 29 P.49/menhut-II/2008 tentang Hutan Desa ialah:
a. rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil;
b. getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
2. Kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan Tanaman, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 30 P.49/menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.
B. Hutan Kemasyarakatan
Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. community forestry (hutan kemasyarakatan) digunakan dalam dunia kehutanan dengan pengertian yang sama dengan kehutanan sosial, sementara disisi lain dibedakan dari istilah farm forestry (hutan rakyat) yang merujuk pada pengelolaan pohon-pohonan oleh pengelola lahan individual (Vermeulen, 2002). Hal ini sesuai dengan sasaran pengelolan hutan kemasyarakatan, yaitu kelompok-kelompok yang terdapat didalam masyarakat.
Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 92 PP No.6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan bahwa Hutan Kemasyarakatan dapat diberikan pada:
a. Hutan konservasi, kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional
b. Hutan lindung
c. Hutan produksi.
Pemberdayaan masyarakat melalui hutan kemasyarakatan dapat dilakukan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan itu sendiri digunakan dalam kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi, berikut spesifikasinya:
a. hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu.
b. hutan produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
1. Tata Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Kemasyarakatan Dan Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan
a) Kelompok Masyarakat setempat mengajukan permohonan IUPHKm dengan ketentuan sebagai berikut:
a. UPT Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial melakukan koordinasi dengan UPT Eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan Pemerintah Daerah untuk menentukan calon areal kerja HKm dan memfasilitasi masyarakat setempat untuk membuat permohonan.
b. Gubernur atau Bupati/Walikota berdasarkan hasil penentuan calon areal kerja HKm sebagaimana yang telah dilakukan bersama UPT Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial melakukan koordinasi dengan UPT Eselon I Kementerian Kehutanan terkait , mengusulkan Areal Kerja HKm kepada Menteri berdasarkan permohonan masyarakat setempat.
c. Usulan Gubernur atau Bupati/Walikota dilengkapi dengan :
1. peta digital lokasi calon areal kerja hutan kemasyarakatan dengan skala paling kecil 1 : 50.000; dan
2. deskripsi wilayah, antara lain keadaan fisik wilayah, sosial ekonomi, dan potensi kawasan.
d. Dalam proses pengusulan areal kerja HKm, Gubernur atau Bupati/Walikota memfasilitasi pembentukan kelompok masyarakat setempat.
b) Pada tahap verifikasi terdapat beberapa ketentuan yang harus diikuti yakni sebagai berikut:
1. Terhadap usulan Gubernur atau Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dilakukan verifikasi oleh Tim Verifikasi yang dibentuk oleh Menteri.
2. Tim verifikasi beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait lingkup Kementerian Kehutanan dengan penanggung jawab Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
3. Verifikasi dilakukan dengan cara konfirmasi kepada Gubernur atau Bupati/ Walikota terhadap hal-hal antara lain kepastian bebas hak/izin, serta kesesuaian dengan fungsi kawasan.
c) Setelah diverifikasi, Menteri dapat menolak atau menerima, yaitu:
1. Berdasarkan hasil verifikasi, tim verifikasi dapat menolak, menerima untuk seluruh atau sebagian usulan penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan.
2. Terhadap usulan yang ditolak, tim verifikasi menyampaikan pemberitahuan penolakan tersebut kepada Gubernur dan/atau Bupati/Walikota.
3. Terhadap usulan yang diterima untuk seluruh atau sebagian, Menteri menetapkan areal kerja hutan kemasyarakatan.
d) Berdasarkan Penetapan Areal Kerja HKm dari Menhut, Bupati atau Gubernur dapat mengeluarkan IUPHKm untuk jangka waktu 35 tahun.
e) Pada Hutan Produksi yang akan dilakukan pemanfaatan kayu untuk tujuan usaha kelompok, Pemegang IUPHKm mengajukan IUPHHK-HKm kepada Menhut.
f) IUPHHK-HKm diterbitkan oleh Menhut.
2. Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan Sebagai Hak Kelola Hutan Kemasyarakatan
Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan atau yang disingkat IUPHKm, sebagaimana menurut Pasal 1 Angka 11 ketentuan Umum Permenhut Nomor P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan merupakan: izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan sumber daya hutan pada kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan produksi. Itu artinya IUPHKM merupakan semacam mekanisme pemanfaatan hutan yang berorientasi pada kegiatan usaha, dalam artian ini terdapat suatu izin usaha yang mencoba mengadopsi pola pemanfaatan hutan konsep hutan hak, akan tetapi memakai bentuk pola kolektif. IUPHKm yang diberikan kepada kelompok-kelompok pada masyarakat yang telah mendapat fasilitasi baik yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah daerah maupun yang dibantu oleh instansi-instansi yang diperbolehkan menurut aturan perundang-undangan.
Setelah penentuan batas areal akerja Hutan kemasyarakatan ditetapkan dan telah mendapat fasilitasi, maka pada areal kerja hutan kemasyarakatan lintas kabupaten/kota yang ada dalam wilayah kewenangannya, Gubernur memberikan IUPHKm dengan tembusan Menteri Cq. Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Bupati/Walikota, dan Kepala KPH. Sedangkan Bupati, pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kewenangannya memberikan IUPHKm dengan tembusan kepada Menteri cq. Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan, Gubernur, dan Kepala KPH.
Kelompok masyarakat yang telah memiliki IUPHKm dan akan melanjutkan untuk mengajukan permohonan IUPHHK HKm wajib membentuk koperasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah diberikannya izin. IUPHKm yang diberikan digunakan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 (lima) tahun. Selain itu kelompok pemegang IUPHKm memiliki beberapa hak dalam pengelolaan hutan pada areal kerja Hutan kemasyarakatan sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 25 P. 37/menhut-II/2007 Tentang Hutan Desa, yaitu:
a. mendapat fasilitasi
b. memanfaatkan hasil hutan non kayu,
c. memanfaatkan jasa lingkungan
d. memanfaatkan kawasan
e. memungut hasil hutan kayu
apabila terdapat pemenuhan hak diakomodir di satu sisi tentu disisi lain pemegang IUPHKm harus memenuhi beberapa kewajiban terlebih dahulu, sebagaimana dalam Pasal 26 P.37/menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, yaitu:
a. membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
b. menyusun rencana kerja pemanfaatan hasil hutan kayu selama berlakunya izin
c. melaksanakan penataan batas areal pemanfaatan hasil hutan kayu
d. melakukan pengamanan areal tebangan antara lain pencegahan kebakaran, melindungi pohon-pohon yang tumbuh secara alami (tidak menebang pohon yang bukan hasil tanaman).
e. melaksanakan penatausahaan hasil hutan sesuai tata usaha kayu hutan tanaman.
f. menyampaikan laporan kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu kepada pemberi izin.
Dalam rangka pemenuhan hak dan kewajiban pemegang IUPHKm, maka pemegang IUPHKm wajib untuk menyusun suatu Rencana Kerja dalam hutan kemasyarakatan sebagai acuan bagi pemegang IUPHKm dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan dan juga sebagai alat pengendalian bagi Pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota. Penyusunan rencana kerja dalam hutan kemasyarakatan dilakukan oleh pemegang IUPHKm dengan difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten/Kota atau pihak lain. Rencana kerja dalam hutan kemasyarakatan dibagi atas:
a) Rencana Umum
Rencana umum memuat penataan hutan yang meliputi penataan batas areal kerja dan penataan batas areal kerja masing-masing anggota kelompok, rencana penanaman, rencana pemeliharaan, rencana pemanfaatan, rencana perlindungan yang disusun dan dipahami oleh kelompok masyarakat penyusunnya. Rencana umum sendiri disusun oleh kelompok atau gabungan kelompok pemegang izin yang dilakukan secara partisipatif dalam satu kesatuan izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan untuk satu periode jangka waktu izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Rencana Umum menurut Pasal 27 ayat (5) P.37/menhut-II/2007 disahkan oleh:
a. Gubernur, untuk areal kerja hutan kemasyarakatan lintas Kabupaten/Kota yang ada dalam wilayah kerjanya
b. Bupati/Walikota, untuk areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kerjanya.
b) Rencana Operasional
Rencana Operasional merupakan penjabaran lebih rinci dari Rencana Umum yang memuat kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dan target-target yang akan dicapai dalam jangka waktu 1 (satu) tahun ke depan yang memuat rencana-rencana kegiatan tahunan anggota kelompok pemegang izin dalam mengelola hutan kemasyarakatan yang mengacu pada Rencana Umum. Rencana Operasional menurut Pasal 27 ayat (6) P.37/menhut-II/2007 disahkan oleh :
a. Pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur, untuk areal kerja hutan kemasyarakatan lintas Kabupaten/Kota yang ada dalam wilayah kerjanya.
b. Pejabat yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota, untuk areal kerja hutan kemasyarakatan yang ada dalam wilayah kerjanya.
2. Pemanfaatan Hutan Oleh Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
Kegiatan usaha Pemanfaatan Hutan, berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada umumnya sama dengan kegiatan usaha yang dapat dimanfaatakan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan pada skema Hutan Desa, karena kegiatan usaha pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang dinyatakan dalam P.49/Menhut-II/2008 Tentang Hutan Desa tidak lain hanya berupa penyebutan ulang dari PP No. 06 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. Selain itu bersamaan dengan pengaturan tentang pemanfaatan kawasan dan pemanfaatan jasa lingkungan pada skema Hutan Desa, selama kurun waktu 2007-2011 belum terdapat peraturan menteri kehutanan terkait dengan tata cara permohonan izin pemanfaatan kawasan dan pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana yang diperintahkan dalam PP. No.06 tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang dapat diperoleh melaui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu atau biasa disebut IUPHHBK, walaupun terdapat Peraturan menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, namun Permenhut tersebut tidak menyinggung persoalan adanya IUPHHBK, apalagi selama kurun waktu 2007-2011 tidak diketemukan permenhut terkait mengenai tata cara permohonan IUPHHBK dan bagaimana pengelolaannya.
Satu-satunya izin pemanfaatan yang diatur dalam P.37/Menhut-II/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan ialah IUPHHK. Berbeda dengan Hutan Desa, IUPHHK pada Hutan kemasyarakatan hanya dapat diberikan dalam hutan tanaman pada hutan produksi. Permohonan IUPHHK HKm diajukan oleh pemegang IUPHKm yang telah berbentuk koperasi kepada Menteri. Apabila permohonan tersebut diterima Menteri mengeluarkan IUPHHK HKm dan penerbitan IUPHHK HKm dapat didelegasikan oleh menteri kepada Gubernur. Dalam hal ini Pemegang IUPHHK Hutan Kemasyarakatan berhak menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya untuk jangka waktu 1 tahun sesuai dengan rencana kerja tahunan IUPHHK Hutan Kemasyarakatan yang memuat rencana pemanfaatan kayu yang meliputi luas dan volume dalam waktu tertentu Dan menebang hasil hutan kayu yang merupakan hasil penanamannya sesuai dengan rencana operasional Serta pemegang IUPPHK Hutan Kemasyarakatan mendapat pelayanan dokumen sahnya hasil hutan sesuai ketentuan.
IV. Penutup
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan terkait dengan kajian diatas ialah:
1. Terhadap persoalan sertifikasi kayu dalam usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, tidak terdapat pengaturrannya di dalam peraturan menteri kehutanan, sebab sertifikasi kayu hanya berlaku bagi kayu yang memasuki pasar ekspor eropa, sebab yang menerapkan hal tersebut baru eropa dengan menggunakan model sertifikat yang diakui secara internasional. Akan tetapi untuk peredaran kayu di indonesia baru masih menerapkan dokumen legalitas kayu yang diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.02/VI-BPHH/2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu.
2. Terhadap konsep Kemitraan yang merupakan bagian dari bentuk pemberdayaan masyarakat, sebagimana yang dinyatakan sebelumnya, masih dalam bentuk Draft Permenhut. Sehingga konsep Kemitraan ini belum dapat diberlakukan.
Demikianlah hasil kajian yang dapat penulis sampaikan, apabila terdapat kekurangan atau terdapat kekeliruan dalam penulisan ini, agar dapat diberikan masukan terkait dengan hasil kajian ini. Semoga hasil kajian ini dapat menjadi bahan referensi dan pertimbangan dalam pelaksanaan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.
0 Komentar