Pushumas, Jakarta: Kebijakan Kementerian Kehutanan mengembangkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat berbentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Desa (HD) terbukti mampu mengakomodasi kearifan lokal dalam pelestarian hutan sekaligus menjawab tuntutan pembukaan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Daerah diharapkan lebih banyak berperan dalam melaksanakan kegiatan ini.
Hal itu dikemukakan Direktur Bina Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Haryadi Himawan pada pesentasinya yang digelar di Kementerian Kehutanan Jakarta, Selasa 22 Mei 2012, dalam rangka dialog dua mingguan yang diselenggarakan Pusat Humas Kemenhut.
Pada dialog yang dipandu Staf Ahli Menteri Kehutanan Prof. San Afri Awang, Haryadi menyampaikan hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2010 yang membuktikan dampak positif Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa sejalan dengan program pemerintah untuk meningkatkan pendapatan rakyat (pro poor), menciptakan lapangan kerja (pro job), dan menumbuhkan investasi industri berbasis kayu rakyat (pro growth), serta mampu mempercepat rehabilitasi lahan kritis dan perbaikan mutu lingkungan (pro environtment).
Haryadi menegaskan, kegiatan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa ini merupakan program dan kebijakan pemerintah untuk membuka akses dan peluang kepada masyarakat untuk mencari nafkah sekaligus melestarikan hutan. Jadi HKm dan HD ini bukan sebagai proyek.
Ditegaskan pula bahwa dalam proses perizinan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa, peran kepala daerah memang krusial. Mereka dilimpahkan kewenangan oleh Menteri Kehutanan untuk menerbitkan izin HKm dan Hutan Desa pada areal yang sebelumnya sudah dicadangkan Menteri Kehutanan. Untuk itu peran aktif pemerintah daerah sangat diperlukan dalam mewujudkan pembangunan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa. “Jadi kepedulian kepala daerah terhadap pelaksanaan HKm dan HD sangat dibutuhkan,” ujar Haryadi.
Haryadi menambahkan bahwa sejumlah daerah yang memberi dukungan sangat baik diantaranya adalah Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Selatan dan NTT yang akan naik peringkat dari cukup baik ke peringkat sangat baik. Sedangkan Propinsi Maluku dan Bangka Belitung sama sekali belum merespon kegiatan ini.
Haryadi mengatakan, HKm dan Hutan Desa merupakan program yang dirancang untuk meningkatkan kemandirian masyarakat setempat dengan pengembangan kapasitas dan pemberian akses untuk mengelola hutan. Oleh sebab itu dibutuhkan dukungan dari semua pihak agar program tersebut bisa berjalan dengan baik.
Skema pengelolaan HKm dan HD selain dapat meningkatkan taraf ekonomi rakyat juga diharapkan bisa meningkatkan kualitas lingkungan secara signifikan. Sebagai contoh pelaksanaan HKm di Menanga Jaya, Way Kanan, Lampung. Pengelolaan HKm di daerah tersebut dilakukan oleh 679 orang pada hutan seluas 1.003 hektare. Pada awalnya, vegetasi yang ada didominasi oleh tanaman kopi. Lewat pengelolaan HKm, vegetasi secara perlahan berubah menjadi tanaman karet yang memberikan dampak ekologis yang lebih baik.
“Pendapatan masyarakat pun meningkat, dari awalnya yang mengandalkan kopi sebesar Rp15 juta per tahun menjadi Rp 78 juta per tahun dengan vegetasi yang kini didominasi karet,” kata Haryadi.
Situasi tersebut seharusnya layak mendapat dukungan yang lebih kuat dari pemerintah daerah. mengingat luas izin usaha pemanfaatan Hkm secara nasional baru mencapai 46.435 hektare dari yang sudah ditetapkan oleh menteri kehutanan yakni seluas 186.931 hektare. Sementara untuk izin Hutan Desa, dari 83.401 hektare hutan yang sudah ditetapkan areal kerja oleh Menteri Kehutanan, baru 15.611 hektare saja yang direalisasikan oleh Pemerintah Daerah Pemda.
Dukungan pemerintah daerah baik bupati, walikota dan gubernur mutlak dibutuhkan mengingat untuk dapat memanfaatkan kawasan hutan melalui skema Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa dibutuhkan legalitas yang ditetapkan oleh ketiga kepala daerah tersebut.
Sumber: ppid dephut
0 Komentar